Belajar menjadi egois – 4/30
“Tuntutlah sesuatu, biar kita jalan ke depan.”
Sepotong lirik lagu yang membuat air mataku berlinang kebanjiran dalam kegelapan di sebuah pentas musik. Apa jadinya kita kalau tidak pernah meminta? Malah kita yang akan diperbantukan (baca: dimanfaatkan) untuk kepentingan orang lain.

Pertanyaannya, kenapa harus meminta?
Jawabannya, kenapa tidak? Sebagai manusia yang dibekali akal sehat dan hasrat, sudah sewajarnya meminta. Konteks kehidupan personal maupun profesional, kita sudah diberikan keinginan. “Meminta” dilakukan ketika:
- Minta bantuan, bisa berupa pertolongan, arahan, pandangan, pendapat, berbentuk materi, afirmasi, maupun doa.
- Minta izin, yaitu permohonan yang diajukan untuk mencapai kepentinganmu.
- Minta maaf, jelas sekali, saat kamu melakukan kesalahan, entah itu disengaja maupun tidak.
- Minta kejelasan, jyakh. Ini paling sulit. Hanya bertujuan menenangkan jiwa dan pikiranmu.
…ada lagi bentuk “meminta” yang lain?
Konsep meminta selalu beriringan dengan memberikan. Apa yang akan kamu berikan jika kamu telah meminta?
Jadi, kapan harus meminta?
Seringkali, orang yang tidak enakan, enggan untuk meminta di waktu yang kurang tepat. Misal, terlihat sibuk, terlihat emosi yang tidak stabil, dsb. Menurut mereka, tidak etis, tidak tahu tempat dan waktu. Nyatanya, tidak akan pernah ada waktu yang tepat.
Mau kah kamu menunggu untuk meminta di waktu yang “tepat” meskipun itu menyakiti dan/atau merugikanmu? Kamu sendiri yang paham dengan dirimu sendiri. Kamu yang sadari, seberapa mampu kamu menanggung “beban” tersebut sendirian.